Intentional Accident (Part 1)


Pagi ini dimulai dengan aktivitas seperti biasa, setelah bangun tidur, aku melakukan ritual kecil di kamar mandi agar perutku dapat mencerna makanan hari ini dengan baik. Kemudian, aku berjalan ke dapur untuk mencari kudapan yang dapat mengganjal perutku sejenak, sebelum aku melanjutkan kegiatan pagiku dengan berlari pagi.
Kubuka pintu kulkas, mataku melihat isi kulkas dari atas sampai bawah yang tidak sengaja berhenti pada buah pisang yang terselip di antara buah mangga dan pir. Sembari mengunyah pisang, aku merapikan ruang televisi sekaligus ruang tamu apartemenku yang berantakan akibat maraton drama Korea kesukaanku semalam. Kusibakkan tirai yang belum kuganti selama liburan semester ini, menampakkan pemandangan pagi dari jendela apartemenku. Matahari yang masih malu-malu menyembul dari balik awan-awan di langit. Sekelompok burung terlihat terbang melintasi langit dengan bebas.
Perasaan rindu terhadap penghuni satu apartemenku yang sudah delapan bulan belum kembali, memenuhi dadaku. Niat untuk memberikan kabar baru mengenai keadaanku pun muncul dalam pikiranku. Aku menyalakan laptop yang berada di atas meja, membuka laman email, kemudian mengetik uraian kata-kata tentang perasaa yang sedang kurasakan untuk dikirim kepadanya.
Ah, iya, penghuni lain yang kumaksud itu adalah abangku, Niel Iskandar. Aku dengannya tinggal di apartemen, yang sekarang masih kudiami ini, sejak aku duduk di bangku SMA. Pada saat itu, ayahku mendapat pekerjaan yang mengharuskan beliau untuk tinggal di luar kota hingga proyek tersebut selesai. Hal itu pula membuat mama harus ikut menemaninya dan aku bersama abangku dipindahkan ke apartemen ini, sementara rumahku ditinggal dengan kedaan kosong tidak berpenghuni.
Mungkin banyak yang bertanya-tanya mengapa aku tidak tinggal di rumah saja, aku dan abangku pun juga melontarkan pertanyaan yang sama kepada orangtua kami. Mereka beralasan demi keamanan dan juga karena mereka mengetahui sifat malasku yang terkadang sangat parah, membuat mereka merasa lebih aman apabila kami tinggal di apartemen.
Aku yang sudah mendiami apartemen ini selama enam tahun, lima tahun bersama dengan Bang Niel, jalan setahun tinggal sendirian. Aku ditinggalnya pergi untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi di Negara Kangguru.
Selama ditinggal olehnya, banyak hal yang terjadi pada diriku. Kebosanan karena tidak ada yang menemaniku di kala aku sedang butuh teman, kebebasan karena tidak ada yang mengawasiku secara langsung, kebahagiaan karena tidak ada yang menggangguku, dan kesedihan karena banyak momen yang selalu membuatku sangat rindu dengannya. Rindu dengan canda tawanya, rindu dengan pelukan hangatnya, rindu dengan aroma masakannya di tiap pagi ketika aku baru bangun tidur pada hari libur, dan rindu dengan celotehannya yang selalu mewarnai hariku.
Tiriririt. Tiriririt.
Alarm tanda waktu sudah menunjukkan pukul 6.30 berbunyi dari dalam kamarku. Aku mematikan laptop, kemudian mengganti pakaian tidurku dengan pakaian olahraga yang selalu kupakai untuk berlari pagi—yang tentunya selalu kucuci setelah memakainya—lalu aku melakukan pemanasan selama 10 menit sebelum turun ke bawah.
****
“Ha..., ha...,” aku berusaha mengatur kembali nafasku setelah berlari. Terlihat ada bangku panjang di bawah pohon rindang tak jauh dari posisiku berdiri, aku pun melangkahkan kakiku dengan pelan untuk duduk sejenak di bangku tersebut.
Melelahkan memang, meluangkan waktu sebanyak 30 sampai 45 menit untuk berlari pagi setiap hari di taman dekat apartemen, tempat aku tidur, mandi, belajar, makan, dan beristirahat. Namun, apa boleh buat, aku sudah capai mendengar perkataan orang lain tentang ukuran tubuhku yang gemuk ini. Bahkan, setiap aku datang ke acara reuni sekolah, mulai dari SD sampai SMA, orang-orang yang mengenaliku kaget ketika melihatku. Mereka berkata, “Kok, beda? Kayaknya lo dulu kurus, gak gemuk kayak gini? Lo terlalu seneng, ya, kuliah di universitas bagus itu?”. Aku pun hanya bisa membalas dengan sebuah senyuman indah dengan sumpah serapah di dalam hati.
Tubuhku sangat mudah naik beratnya, terutama di saat aku sedang stres. Berbeda dengan orang lain yang kebanyakan dari mereka kalau stres, berat badannya turun. Aku menghilangkan stres dengan cara makan, mungkin itu pula sebabnya aku gemuk. Kalau diingat-ingat, aku pernah tidak makan ketika sedang stres dan sibuk, tetapi yang kudapatkan setelah itu adalah berbagai macam obat dan juga wejangan-wejangan dari dokter. Jadi, aku selalu menyempatkan diriku untuk selalu makan, walaupun keadaanku tidak memungkinkan untuk makan.
Namun aku sadar, aku dengan tubuh seperti ini tidak akan sehat jika tidak olahraga dan mencoba untuk menurunkan berat badan. Ya, setelah semester enam ini berlalu, berat badanku menyentuh angka 70 kilogram. 70 kilogram kawan-kawan. Hebat, kan? Haha. Aku hanya bisa tertawa saja ketika berdiri di atas timbangan dan melihat jarum ganas itu berhenti di angka 70. Hal itu yang membuat aku memutuskan untuk berlari tiap pagi di liburan kali ini. Lumayan, siapa tahu di semester baru nanti aku bisa terlihat lebih kurus dan, ya, aku berharap pula dengan begini aku bisa mempunyai seseorang yang dapat membuat jantungku berdebar-debar dan pipiku merona karenanya, hihi.
“Haa....” Suara seseorang yang terengah-engah akibat sedang mengatur nafas terdengar di telingaku. Aku menoleh ke arah suara tersebut.
Seorang laki-laki, berdiri di depanku, terlihat sedang beristirahat sejenak dari lari paginya. Kepalanya menengok ke arahku, kedua matanya melihatku. Tak lama kedua kakinya melangkah ke arahku.
What?! Wait, wait! Dia jalan ke sini?? Jangan bilang dia sadar kalo daritadi aku merhatiin dia. Oh, my God.
Aku merasa ada seseorang duduk di sampingku. Ya, dia duduk di sampingku! Aku pura-pura melihat ponselku agar tidak terlihat seperti seseorang yang ketahuan sedang memerhatikannya.
Ah, dia pasti udah tahu. Ngapain aku pura-pura kayak gini?
Tanpa sadar, aku melirik ke arahnya. Botol minum yang sedaritadi dipegangnya, perlahan bergerak ke arah bibirnya. Ia menikmati tegukan demi tegukan air yang membelah tenggorakannya. Kedua matanya terpejam ikut menikmati tenggorokannya yang kembali segar. Rambutnya terlihat sedikit basah akan keringat. Tetesan keringat meluncur dari pelipis menuju dagunya.
Astaga! Kenapa aku begini?! Oh, my God! Dia ngelirik ke arahku!
Suara tawa kecil terdengar dari bibirnya. Terdengar indah di telingaku.
Ya ampun, Cress, don’t be like this!
“Sepertinya kamu senang dengan pemandangan yang ada di sampingmu, ya?”
“Ya...?”
“Ah, enggak. Aku merasa kamu memerhatikanku daritadi,” ucapnya sambil tersenyum.
Ya Tuhan, jangan buat ia tersenyum di hadapanku.
“Ah..., hehe. Maaf kalo bikin kamu merasa tidak nyaman. Aku sendiri gak sadar, kalo aku daritadi memerhatikan kamu.”
Bodoh! Kenapa bilang kayak gitu. Cukup minta maaf aja!
Kembali terdengar alunan tawa yang menggelitik telingaku. Suara tawanya yang indah membuat jantungku berdebar-debar mendengarnya.
“Gapapa, kok, aku udah sering diperhatikan seperti itu, bikin aku langsung tau kalo ada orang yang sedang melakukan itu.”
Ya ampun, pede sekali dia. Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Kulihat ia bangkit dari duduknya dan melihat jam yang mengelilingi pergelangan tangannya.
“Baiklah, cukup sampai di sini obrolan kita. Aku harus kembali ke rumah. Senang bisa berbicara dengan....”
“Cress Iskandar, Cress.”
“Cress. Baiklah, sampai jumpa di lain waktu!”
Ia melambaikan tangannya yang kubalas dengan senyuman. Baiklah semoga kita dapat berjumpa di lain waktu! Ah! Aku gak tau nama dia! Ah, bodohnya aku! Bagaimana aku bisa bertemu dia lagi, kalau aku sendiri tidak tahu namanya? Kan, kalau aku tahu namanya, siapa tahu aku bisa mencari informasi tentangnya.
Melihatnya berlari sampai hilang dari pandanganku mengingatkanku akan sesuatu, tetapi hal itu tidak teringat di pikiranku. Aku pun memutuskan untuk kembali ke apartemen untuk menyegarkan tubuhku yang lengket akibat keringat. Selama perjalanan, aku mencoba mengingat apa yang sudah kulakukan dari semalam. Namun, sepertinya tidak ada yang kulupakan.
Ding!
Pintu lift terbuka, aku melangkah keluar dari lift menuju apartemenku yang bernomor J06. Ketika aku berbelok ke kanan, aku dikejutkan oleh sosok perempuan yang kukenal sedang berdiri di depan pintu apartemenku dengan ekspresi kesalnya. Seketika itu, hal yang terlupakan itu langsung muncul di pikiranku.
“Ke mana aja, sih, lo? Gue telpon gak diangkat. Lo gak bawa hape? Capek, nih, berdiri 15 menit sendirian ngetok-ngetok pintu kayak orang apaan tau,” ucapnya dengan gusar.
Oke, perkenalkan, sosok perempuan yang sedang berdiri di depan pintu apartemenku sambil menggenggam ponselnya dan marah terhadapku adalah Daisy Melanie, sahabatku.
Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal, lalu menyengir.
“Beruntung ini masih pagi, kalo udah siang, gue bakal ngamuk, Cress.”
Aku menyengir kembali, “Sorry, gue gak tau kalo lo nelpon, Dai.”
“Ck. Kebiasaan. Buruan buka, haus, nih, gue.”
Sambil mendengus, aku menekan nomor sandi apartemen. Begitu terbuka, Daisy langsung mendahuluiku masuk lalu duduk di sofa.
“Lo pasti mau ngajakin gue pergi, kan? Makanya dateng pagi-pagi?”
Yang ditanya hanya menyengir, “ Buruan sana mandi.”
“Emang mau ke mana?” Aku menyodorkan segelas air dingin kepadanya.
“Belanja bajuuuu! Eh, eh, gak boleh nolak. Ini minggu terakhir kita liburan, jadi lo harus nemenin gue belanja. kalo perlu lo juga harus beli baju. liat, lo udah agak kurusan, masa gak gaya kayak yang lain?”
“Buat apa, Dai...? Lo tau gue males. Lagipula gak ada seseorang yang ingin gue buat terpesona.”
Ledakan tawa terdengar dari bibir Daisy, “Udah buruan mandi.”
Aku hanya mendengus kemudian mengambil handuk di balkon dan berjalan ke kamar mandi.
“Ah, iya, nanti gue mau cerita sesuatu, ya!”
Daisy yang sedang jongkok di depan kulkas melihat ada makanan apa saja yang bisa ia kunyah sembari menungguku mandi, memberikan anggukan, “Udah buruan, Cress.”
Sebelum aku melihatnya mengamuk seperti singa, dengan cepat masuk ke kamar mandi dan memulai ritual mandi pagiku dengan tenang.
30 menit kemudian.
“Lo abis semedi, ya, Cress?” serbunya begitu aku keluar dari kamar mandi.
Astaga, ini anak, pagi-pagi udah ngajak berantem.
Senyuman sinis kuberikan kepadanya yang sedang mengunyah pizza yang kusisakan semalam—ya, aku kemarin seharian sangat ingin pizza dan tidak bisa menahannya, jadi, ya, hehe—dan tidak membalasnya dan langsung ke kamar untuk berpakaian. Tidak seperti perempuan biasanya, ketika aku diajak pergi mendadak, aku akan memilih baju yang pertama kali kulihat saat membuka lemari pakaian.
Pandanganku tertuju pada kemeja polos lengan pendek berwarna. Aku mengambilnya lalu memilih bawahan, yang kuputuskan untuk memakai celana putih selutut. Setelah berpakaian, aku memasukkan dompet, botol parfum kesayanganku, powerbank serta kabel USB ke dalam tas kecil berwarna coral pink pemberian abangku, ketika ia pertama kali mendapatkan gajinya.
Kedua mataku melihat ke seluruh penjuru kamarku yang berantakan bak kapal pecah. Rencanaku untuk membereskan kamar di hari minggu ini, sepertinya gagal karena kalau aku sudah berpergian dengan Daisy, pasti akan kembali pada malam hari. Tak apalah, masih ada seminggu lagi sebelum masuk, masih sempat untuk membereskannya.
“Woy, udah rapih belom? Buruan, makin siang, makin panas nanti.”
Baiklah, tarik nafas perlahan..., hembuskan secara perlahan pula.
Beginilah kalau pergi mendadak dengan Daisy, harus sabar menghadapinya yang selalu ingin buru-buru. Beruntung baginya, kami sudah saling mengenal sejak awal masuk kuliah, membuat kami hafal sifat satu sama lain. Kami memang tidak belajar di jurusan yang sama. kami mulai dekat karena sering bertemu satu sama lain saat di kereta Commuter Line, baik saat berangkat maupun pulang kuliah. Dan ternyata rumahnya dengan apartemenku sangatlah dekat, hanya berbeda satu stasiun kereta. Sejak itulah kami menjalin tali persahabatan yang sudah berjalan hampir 3 tahun lamanya.
“Gue yang nyetir atau lo?” tanyaku sambil menutup pintu kamar, lalu mematikan aliran listrik untuk televisi, lampu, dan pendingin ruangan.
“Lo aja, pulangnya gue yang nyetir,” jawabnya sambil melemparkan kunci mobilnya yang dengan sigap langsung kutangkap dengan kedua tanganku.
Beginilah kami, walaupun rumah kami berdekatan, di saat sedang ada maksud lain selain sekadar mampir ke rumah, kami akan mengendarai mobil ke rumah masing-masing.
“Lo parkir di basement satu atau dua?”
“Dua.”
Jari terlunjukku menekan tombol B2, lalu menekan tombol untuk menutup pintu lift. Tiba-tiba pintu lift terbuka kembali. Masuk seorang laki-laki yang terlihat buru-buru dan habis berlari mengejar lift karena dadanya yang masih naik turun, mengatur kembali nafasnya.
Mataku memerhatikan sosok laki-laki yang berdiri di depanku yang sedang melihat jam tangannya. Ada rasa aneh yang mengusikku. Sosoknya tidak asing di mataku, tetapi aku tidak ingat di mana aku pernah melihatnya. Ia berdiri memunggungiku, membuatku tidak bisa mengenalinya hanya dengan punggungnya saja.
Ding!
Pintu lift terbuka, kami bertiga keluar dari lift. Aku melihat pria itu berlari menuju mobilnya.
“Buru-buru amat, tuh, orang,” ujar Daisy sambil mencari di sebelah mana ia memarkirkan mobilnya.
“Lo parkir di mana, Dai?” tanyaku sambil mencari mobilnya yang berwarna biru gelap dengan nomor polisi B 3748 DAI.
“Seinget gue, sih, di sekitar sini. Ah, kenapa gue selalu lupa tiap parkir di sini?”
Aku tertawa melihatnya yang sedang celingak-celinguk mencari mobilnya. Aku pun berinisiatif menekan tombol kunci mobilnya agar dapat diketahui keberadaannya.
“Tuh, di sebelah yaris hitam, Dai!”
Setelah memasang sabuk pengaman dan memutar salah satu lagu yang terdapat di playlist ponselku, aku menginjak pedal gas, lalu melajukan mobil ini keluar dari lingkungan apartemen membelah jalan raya yang belum banyak diisi dengan kendaraan menuju pusat perbelanjaan.
Sepanjang perjalanan, kami membicarakan berbagai hal, seperti rencana di semester depan, akan menulis skripsi yang seperti apa, dan membayangkan kalau sudah wisuda dan bagaimana sosok kami berdua saat sudah berkerja nanti. Tak hanya itu, kami juga membayangkan jodoh idaman yang diinginkan. Mungkin obrolan kami terdengar membosankan, tetapi inilah kami, mencoba mencari motivasi dari obrolan yang sudah sering kami bicarakan.
“Eh? Itu bukannya laki-laki yang tadi lari-lari di parkiran?” tunjuk Daisy ke arah laki-laki yang sedang berlari pelan menuju pintu masuk pusat perbelanjaan yang juga kami kunjungi.
“Eh?? Gila, ketemu lagi kita. Kayaknya dia sibuk banget, lari-lari mulu. Tapi.., kenapa wajahnya gak asing di mata gue, ya?”
Daisy menyipitkan matanya, menatap curiga kepadaku yang berusaha untuk tidak bertemu pandangannya dengan mencari-cari tempat kosong untuk memakirkan mobil. Lenganku dicolek olehnya, tanda ia masih penasaran dan ingin tahu apa maksud dari perkataanku.
Aku menghela nafas, “Nanti gue ceritain. Kan, gue juga ada utang cerita sama lo tadi sebelum mandi.”
Senyum mengembang di bibirnya. Ia pun membetulkan penampilannya sebelum turun dari mobil.
***

Comments

Popular posts from this blog

#9:40 p.m.

#10:04 p.m.

#06:16 a.m.