Intentional Accident (Last Part)
Sepanjang hari ini aku diam tidak seperti biasanya. Semangat untuk berangkat ke kampus yang biasanya selalu muncul di pagi hari, kali ini tidak ada. Seharian aku murung dan malas untuk berbuat apa-apa.
“Lo gak makan, Cress?” tanya Daisy yang duduk di depanku sedang memotong daging rendangnya.
“Nanti aja, belom laper gue,” jawabku malas.
Ia menatapku cemas, tetapi tidak berkata apa-apa dan melanjutkan makan siangnya.
“Mumpung gue udah kelar makan, sekarang ceritain semuanya, Cress. Gue tahu lo lagi banyak pikiran.”
Aku menghela nafas panjang sebelum bercerita dengan panjang kepadanya.
“Lo tahu, kan, beberapa hari ini gue merasa seakan-akan si Brian ngehindarin gue?”
Ia mengangguk, aku pun melanjutkan omonganku, “Jumat lalu dia masih ngobrol sama gue, Dai. Tapi dari dua hari yang lalu, hari Senin, dia cuma senyum doang kalo papasan sama gue. Gue gak tahu penyebab dia kayak gini itu kenapa.”
“Berarti bener tebakan gue. Kemarin pas gue gak sengaja papasan di gedung tiga, dia ngehindar dari tatapan gue, Cress, padahal biasanya dia senyum ke gue. Lo sendiri gak nanya ke dia, kenapa dia begitu?”
“Dia aja gak nge-chat gue, Dai.”
Kali ini ia yang menghela nafas, “Aneh.... Lo hari ini gak liat dia? Apa mau gue temenin ketemu dia sekarang? Kelasnya sepuluh menit lagi selesai, nih.”
“Enggak, gue gak liat dia sama sekali dari pagi. Gue ampe bolak-balik ke toilet lewat depan kelas dia doang buat mastiin dia masuk apa enggaknya. Terus, di apartemen gue juga gak ketemu dia. Pas hari Sabtu dan Minggu pun sama, padahal dia biasanya lari pagi bareng gue.”
“Hmm..., gue ada saran, sih. Tapi ini membutuhkan keberanian lo, Cress, dan lo gak boleh mundur supaya tahu penyebab dia tiba-tiba kayak gini, tuh, apa.”
Aku mengangguk siap mendengar apapun solusi dari bibir Daisy.
“Coba lo duluan yang nge-chat dia, Cress. Basa-basi dulu, abis itu ngomongin yang ke arah tingkah dia akhir-akhir ini, deh.”
“Ngomong, mah, gampang, Dai. Lo tahu sendiri gue gak bisa kayak gitu....”
“Lo mau tahu gak? Kalo enggak, ya sudah, tunggu sampe dianya aja yang nyamperin lo dan ngejelasin semuanya. Itu juga kalo dia ngejelasin, kalo enggak? Hayo? Mau gimana?”
“Iya juga, sih.... Ta--”
“Gak ada tapi-tapian. Kalo lo gak berani, sini hape lo, gue yang nge-chat!”
Aku langsung menggenggam ponselku dengan erat, “Iya, iya, gue chat dia sekarang juga.”
Senyum kemenangan terlukis di bibirnya. Lekas aku membuka aplikasi Line dan mencari chatting room antara aku dengan Brian. Aku mengetik pesan dan menekan tombol kirim. Hatiku berharap cemas agar ia membalasnya dengan cepat.
“Udah, nih. Puas?” tanyaku sambil menunjukkan layar ponselku kepada Daisy yang mengangguk-anggukkan kepalanya sambil bersenandung ria.
***
Kedua mataku terus menatap layar ponsel yang tidak menyala. Beberapa kali aku membuka kunci untuk sekedar melihat adakah pesan balasan darinya. Ini sudah 6 jam setelah aku mengirim pesan kepadanya, tetapi sampai sekarang belum ada balasannya.
Pikiranku melayang memikirkan apa yang membuatku menjadi seperti ini. Membuatku tidak bersemangat, membuatku tidak ingin melakukan sesuatu, membuatku sering termenung, dan membuatku menunggu.
Aku tahu dengan jelas bagaimana rasanya menunggu. Menunggu yang kali ini tidaklah sulit seperti dua tahun lalu. Dua tahun lalu yang sungguh menyakitkan. Menunggu kabar dari seseorang yang kusukai sejak SMA. Menunggu kehadirannya di hadapanku. Menunggu kepastian darinya, yang berakhir dengan hampa, dengan kebohongan belaka. Aku hanya berharap ini tidak berakhir sama dengan yang sebelumnya. Aku hanya berharap Brian tidak seperti saudara kembarnya sendiri.
Ding!
Ponselku berbunyi tanda ada pesan masuk. Dengan hati berdebar aku membuka pesan tersebut dan membacanya tanpa melihat siapakah pengirimnya.
Daisy : “Gimana? Udah ada balesan?”
Perasaan kecewa menyelimutiku. Aku segera membalas pesan dari Daisy dengan kesal.
Ding!
Pesan kembali masuk ke ponselku. Dengan malas aku membukanya.
Brian : “Maaf baru bales. Ada apa, Cress?”
Deg! Deg! Jantungku berdegup kencang dan sangat cepat. Aku membaca berulang kali kata-kata yang terdapat di layar ponselku takut ini hanya mimpi. Kedua tanganku gemetaran saking kagetnya. Dengan cepat aku mengetik balasan dan mengirimkannya, yang tak lama langsung dibalas olehnya.
Brian : “Iya, nih. Hari ini gue ada acara keluarga, jadinya gak masuk. Kenapa emangnya? Kangen, ya, sama gue? Hahaha.”
Tanpa berpikir panjang, aku mengetik kata ‘iya’, lalu mengirimkannya. Aku tak sabar menunggu balasan darinya.
Hingga pukul sepuluh malam, balasan yang kutunggu tidak juga datang. Aku memeriksa kembali pesan terakhir yang kukirimkan kepadanya, khawatir aku salah mengetik balasan.
Ah, bodoh kamu, Cress! Dengan jujurnya kamu memberitahu bahwa kamu kangen sama dia. Bodoh, bodoh, bodoh!
Ding!
Dengan cepat aku membuka pesan yang baru masuk.
Brian : “Hahaha. Cie, kangen sama gue. Ah, iya, lo belom tidur, kan? Kalo belom, bales, ya. Tapi kalo udah tidur, pas bangun dan lihat ini langsung bales, ya.”
Brian : “Besok lo ada waktu? Bisa ketemu di kafe setelah kelas lo selesai? Ada yang mau gue omongin sama lo.”
Jantungku kembali berdegup. Dengan hati-hati kuketik pesan balasan untuknya.
Cress : “Besok? Boleh. Tapi besok gue selesai kelas jam 3, lo gapapa nunggu?”
Brian : “Yap. Gapapa. Oke, deh, tidur sana, udah jam segini. Sampai jumpa besok!”
Aku meletakkan ponsel di samping tubuhku. Perasaan senang menjalar di seluruh tubuhku. Aku menendang-nendang gulingku, ingin berteriak karena terlalu senang. Aku bak seorang anak remaja yang sedang jatuh cinta. Tak lama, aku pun terlelap.
***
“Akhirnya, lo dateng juga, Cress,” ujarnya setelah aku menepuk pelan pundaknya.
“Maaf, ya, dosennya tadi minta tambahan waktu,” ucapku seraya duduk di sebelahnya.
“Hahaha, gapapa, yang penting lo dateng. Oh, iya, mau minum apa?”
“Ih, gue telat, masa’ tetep lo yang beliin minum buat gue?”
“It’s okay, Cress. Sekalian gue mau pesen yang baru juga. Tuh, liat, kopi gue udah habis.”
“Huh, ya sudah kalau gitu, gue mau hot chocolate aja.”
Dia mengangguk lalu beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah kasir. Ya, untuk kali ini aku minum hot chocolate, bukan iced caramel latte seperti biasanya. Salah satu faktornya dikarenakan di luar sedang hujan dan aku terkena tetesan air yang sedang turun membasahi muka bumi tersebut saat dalam perjalanan dari kelas ke kafe. Pendingin ruangan di kafe juga membuat tubuhku menjadi terasa lebih dingin.
“Ini, pelan-pelan minumnya, panas.”
Aku mengambil gelas berisi hot chocolate pesananku dan meniup permukaannya lalu meminumnya sedikit.
Suasana sepi menyelimuti kami. Tidak ada satupun di antara kami yang membuka mulut untuk berbicara. Hanya terdengar suara kami yang sedang menyeruput minuman dengan kedua mata kami yang terpaku pada jalan yang basah karena hujan.
Apa aku saja yang mulai berbicara? Ah, aku tahu ini bukan yang pertama kalinya, tetapi aku merasa ada yang aneh dan aku takut.
Aku pun memberanikan diri untuk bertanya, “Ian....”
Yang dipanggil menolehkan kepalanya dan menatapku. Aku mengalihkan pandanganku.
“Katanya lo mau ngomong....”
Ia meletakkan gelasnya di atas meja lalu berdeham. Aku menatapnya kembali dengan penuh rasa penasaran.
“Gue mau mengutarakan yang sebenarnya, semuanya ke lo, Cress.”
Aku terdiam menunggu kelanjutannya.
“Alasan dari tingkah laku gue belakangan ini ke lo, semuanya akan gue kasih tahu, Cress.”
“Ehm..., baiklah, gue akan mendengarkan semuanya.”
Ia menarik nafas panjang, “Berawal dari gue yang selalu memerhatikan lo sejak semester lalu. Itu semua dikarenakan saudara kembar gue sendiri, Ryan. Gue tahu lo kenal dia, gue denger semua yang lo bicarakan sama Keyla, jadi jangan kaget.”
“O... oke..., lanjutin.”
“Dia udah gak ada sejak dua tahun lalu, Cress. Orang yang lo suka dari SMA udah gak akan bisa lo temui lagi.”
Aku terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Aku sangat kaget. Aku tidak tahu ini mimpi atau bukan.
“Ke... kena... kenapa? Apa yang terjadi sama dia?”
“Dia mengalami kecelakaan yang sungguh besar dan koma tiga bulan. Ya, dia sempet sadar, tapi hanya lima hari. Setelah mengucapkan selamat tinggal kepada semua orang yang dekatnya, dia pergi untuk selama-lamanya. Dan lo harus tahu, Cress. Dia gak tega ninggalin lo begitu aja tanpa adanya kejelasan mengenai hubungan lo sama dia. Karena itulah dia mengirimkan pesan permintaan maaf darinya dan meminta untuk berhenti menunggunya. Tak hanya itu, dia juga minta gue buat jagain lo karena dia tahu kita satu fakultas.”
Isakan tangis terdengar dariku. Tangan kiri Brian meraih tangan kananku dan mengenggamnya dengan erat kemudian melanjutkan ceritanya.
“Gue tahu, seharusnya setelah dia pergi gue memenuhi janjinya. Tapi saat itu gue sibuk dengan persiapan studi keluar gue dan baru bisa mengawasi lo dari jauh sejak semester lalu dan dari dekat akhir-akhir ini.”
Aku masih terisak. Hatiku terasa sakit, luka lamaku terbuka kembali. Namun, aku merasa lega karena sudah mengetahui kejadian yang sebenarnya.
“Gue boleh tanya sesuatu? Kenapa... kenapa lo memberitahukan ini semua?”
“Karena gue suka sama lo, Cress.”
Aku terbelalak mendengarnya.
“Itu alasan kenapa gue memberanikan diri untuk melihat lo dari dekat, menjaga lo dari jarak dekat seperti ini. Selama satu semester lalu gue selalu memerhatikan lo dari jauh, membuat gue mengetahui lo sebatas yang gue lihat dan seiring berjalannya waktu, gue sadar, gue suka sama lo. Perasaan ingin mengetahui lo lebih lanjut, menjaga lo dari jarak dekat itu ada, muncul dari hati gue, Cress.”
Aku kembali terdiam. Pikiranku kacau balau. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku tidak tahu harus berkata apa.
“Gue berterima kasih sama Ryan karena gue bisa ketemu sama lo. Gue bisa membuka hati gue lagi dan bersiap menghadapi segalanya. Gue selalu merasa bahagia di saat bersama lo.”
Ah, perasaan apa ini? Aku senang ia juga menyukaiku, tetapi aku tidak bisa mengungkapkan hal yang sama kepadanya. Aku tidak tahu harus memulainya darimana.
“Hmm..., maaf udah bikin lo kaget sampe gak ngomong apa-apa kayak gini.”
Aku menggelengkan kepalaku, “Makasih..., makasih udah ngasih tahu semuanya. Gue tahu mungkin itu berat untuk lo ceritain semuanya ke gue. Gue juga ingin jujur sama lo, gue juga ingin menceritakan semuanya ke lo, Ian.”
“Oke, gue siap mendengarkannya.”
Aku pun menceritakan semuanya. Di mulai dari awal aku mengenal Ryan saat aku masih duduk di SMA kelas 10, dari sekedar kakak kelas dan pembimbingku waktu di klub marching band, hingga aku yang menyimpan perasaan kepadanya selama 3 tahun lamanya. Aku dekat dengannya, tetapi tidak sedekat sahabatnya, aku hanya bertemu dengannya ketika menjalani aktivitas klub dan saling menyapa ketika berpapasan di sekolah. Namun, kami tetap melakukan komunikasi dengan mengirim pesan singkat. Aku sempat memberanikan diri menyatakan perasaanku padanya, yang dibalasnya dengan, “Maaf, aku hanya ingin kita jadi teman deket aja. Aku takut akan menyakitimu nantinya.” yang dengan bodohnya kuterima begitu saja karena tidak ingin kehilangan darinya.
Kami masih menjalin komunikasi sampai aku masuk universitas. Perasaanku sendiri terhadapnya tidak berubah sampai aku mendapat kabar darinya ketika sedang liburan yang berupa permintaan maaf darinya dan permintaan untuk melupakannya selama-lamanya, sebelum menghilang tanpa kabar, yang ternyata ia memang telah pergi untuk selama-lamanya seperti yang dikatakan oleh Brian.
Aku yang kemudian terbiasa tanpanya, tidak lagi menunggu kabar darinya dan menjalani hari-hariku seperti biasanya. Selama setahun aku mengunci hatiku, fokus dengan akademik dan bermain bersama teman-temanku, yang membuahkan hasil, aku tidak lagi mempunyai perasaan apapun terhadapnya, aku berhasil menghilangkan semua kenanganku bersamanya. Sampai akhirnya saudara kembarnya, yang sekarang sedang duduk di sampingku, datang menghampiriku. Datang ke dalam kehidupanku, perlahan-lahan memenuhi pikiranku dan berhasil membuka kembali hatiku.
“Gue kaget, sangat kaget ketika melihat foto Ryan di apartemen lo waktu itu. Gue juga lebih kaget ketika Keyla ngasih tahu siapa dia dan tanpa sadar gue menceritakan semuanya kepadanya yang sampai juga ke telinga lo.”
Tak ada reaksi sedikit pun dari Brian, ia hanya menatapku. Aku kembali melanjutkan ceritaku.
“Mungkin gue memang tidak tahu harus berbuat apa setelah mengetahui itu. Tapi gue tahu..., gue harus memaafkan dia akan sikapnya yang terdahulu. Dan di saat itu juga, gue sangat ingin mengetahui kebenarannya dari lo. Tapi apa yang gue dapatkan? Entah ini hanya perasaan gue saja, lo tiba-tiba ngejauh dari gue. Gue bingung. Lo bikin gue sering bengong memikirkan apakah ada kesalahan yang telah gue perbuat ke lo atau jangan-jangan dia tahu sesuatu tentang gue yang mungkin membuat lo jadi ingin menjauh dari gue. Banyak prasangka-prasangka buruk muncul di kepala gue, Ian. Terus sekarang lo ketemu gue, nyeritain semuanya, dan menyatakan rasa suka lo. Gue tambah bingung, Ian.”
“Maaf..., gue gak bermaksud ngejauhin lo. Saat itu gue hanya bingung bagaimana gue bisa ngobrol sama lo lagi tanpa dibayangi sosok Ryan.”
“Itu sudah berlalu, Ian. Gue udah gak punya perasaan apapun sama dia sejak dia menyudahi semuanya. Justru gue sempat merasa bersalah karena gue menyimpan perasaan sama saudara kembarnya! Tapi gue tahu ini bukan salah gue, dia, dan juga lo, jadi gue membiarkan perasaan itu mengalir begitu saja.”
Ya, Tuhan! Aku..., aku salah bicara. Tolong bilang ini hanya mimpi. Aku belum mau ia mengetahui ini sekarang. Ini belum waktunya.
Aku mendongakkan wajahku dan menatapnya yang terdiam. Ah, aku ingin kabur.
“Tadi..., bukan. Barusan, ah, tadi, tadi lo bilang apa?”
Aku memalingkan wajahku berusaha menyembunyikan wajahku yang memerah.
“Ehm..., ehm..., ya, apa yang lo denger barusan itu bener, kok.”
“Tatap gue. Tatap kedua mata gue.”
Aku menurutinya dan menatap kedua matanya yang terlihat ia sudah lega karena semua yang sedang menjadi masalah baginya sudah terselesaikan.
Kedua tangannya meraih kedua tanganku lalu menggenggamnya dengan erat.
“Maaf, gue akan memperbaiki semuanya dan terima kasih karena sudah membuka hati lo buat gue.”
Aku merasakan kehangatan menjalar dari kedua tangannya, tubuhku yang kedinginan terasa hangat karenanya. Aku membalas senyumnya yang sekali lagi membuat jantungku berdebar dengan kencang dan cepat serta kupu-kupu yang berterbangan memenuhi perutku. Senyum yang akan membuatku merasa nyaman bersamanya. Senyum yang akan membuatku merasa rindu apabila tidak melihatnya. Senyum yang akan dan selalu mewarnai hari-hariku ke depannya.
Aku ingin sekali mengucapkan terima kasih kepada Ryan yang telah mempertemukan kami. Aku ingin mengucapkan terima kasih atas keberanian Brian untuk menghampiriku dan menemaniku. Semua ini berawal dari keberaniannya dan pertemuan yang tidak disengaja antara kami berdua. Semuanya berawal dari ia yang menepati janjinya dan menyadari keberadaanku. Dan semuanya dimulai dari aku yang setelah sekian lama akhirnya berhasil membuka hatiku kembali. Aku juga menyadari satu hal, sebuah perpisahan akan memanggil pertemuan yang lain bukan?
-SELESAI-
Comments
Post a Comment