Intentional Accident (Part 2)
Jari-jariku menyentuh kain baju yang tergantung di rak pakaian. Mataku menjelajahi warna-warni pakaian yang dipajang di toko pakaian. Sesekali berhenti melihat baju yang menarik pandanganku, menelitinya dari atas hingga bawah baju. Merasa cocok dengan style-ku, jariku mencari label harga baju tersebut. Sudah ada dua baju yang berada di lenganku, tetapi belum kucoba memakainya dan melihat cocok atau tidaknya denganku. Berbeda dengan Daisy, ia terlihat sangat bersemangat memilah-milah baju yang akan dibelinya dan sibuk bolak-balik ke ruang ganti pakaian.
Aku melangkah memasuki toko buku yang selalu kukunjungi saat pergi ke pusat perbelanjaan, meninggalkan Daisy yang masih sibuk berada di toko pakaian sebelumnya—kami memutuskan untuk berpisah sejenak dan bertemu lagi saat makan siang—oke, waktunya memanjakan diriku sejenak tanpa khawatir tanganku akan ditarik olehnya untuk menemaninya mencari pakaian ke toko yang lainnya.
Ini dia surga duniaku.
Aroma buku yang sangat kusukai, alunan musik instrumental yang membuatku tenang, dan suara pelan yang dikeluarkan para pengunjung agar tidak mengganggu pengunjung lainnya, selalu membuat aku betah berada di sini dalam waktu yang lama. Kedua mataku perlahan mulai melihat buku-buku yang terpajang di atas meja yang berada di dekat pintu masuk. Membaca dalam hati judul-judul yang tertera pada sampul buku tersebut.
Aku tidak begitu lama berhenti pada rak-rak buku di bagian depan toko, walaupun itu tempat buku-buku yang sedang laris terjual, aku tahu buku-buku itu pasti akan kutemukan kembali di dalam. Aku pun berjalan pelan ke bagian kesukaanku, fiksi, sambil melihat-lihat buku-buku lain yang terdapat pada rak buku.
Tak sengaja kedua mataku terhenti pada sepasang kekasih…, tunggu, entah kekasih atau bukan, yang pasti mereka sepasang laki-laki dan perempuan yang terlihat sangat serasi di mataku. Sang perempuan melontarkan perkataan kepada sang lelaki yang dibalasnya dengan senyuman lembut dan tangannya yang mengacak pelan rambut sang perempuan yang menggandeng lengannya. Pandanganku terfokus kepada mereka dan berhenti lama pada sosok sang lelaki. Kedua mataku terbelalak kaget begitu ingat siapa dirinya.
Akhirnya aku tahu siapa dia. Dia yang kutemui ketika sedang beristirahat setelah berlari pagi tadi. Dia yang berdiri memunggungiku di lift dan berlari menuju mobilnya. Dia yang juga kulihat tadi saat baru memasuki kawasan pusat perbelanjaan yang juga kukunjungi. Dia yang tidak kuketahui namanya sedang asyik bercanda bersama seorang perempuan.
Hatiku tiba-tiba tertohok. Dadaku terasa sesak. Pikiranku pun kacau. Semuanya menjadi buram seketika. Aku tidak tahu apa maksud dari semua ini. Yang kutahu, aku sekarang ingin kabur, tetapi kedua kakiku tidak bergerak seakan-akan ada lem yang menempel pada sol sepatuku. Tak mungkin, tidak mungkin aku menaruh perasaan pada orang yang baru sekali aku temui hari ini.
Oh, tidak! Ia melihatku. Pandangannya bertemu dengan pandanganku. Tidak! Jangan lemparkan senyum yang membuatku langsung lemas melihatnya. Laki-laki itu menganggukkan kepalanya dan tersenyum simpul kepadaku yang juga kubalas dengan senyuman. Ia pun kembali berbicara dengan perempuan yang berdiri di sampingnya, sesekali tertawa mendengar celotehannya, sementara aku hanya berdiri diam seperti patung memerhatikannya.
Dengan langkah berat aku kembali melanjutkan niat awalku untuk membeli novel yang sudah kuincar sebelum ujian akhir semester lalu dengan mengambil jalan yang berbeda agar tidak bertemu dengan laki-laki tersebut.
Aku menghembuskan nafas lega. Aku berhasil membeli buku tanpa bertemu dengannya. Mungkin terdengar berlebihan, tindakanku menghindari seseorang yang baru kutemui hari ini. Walaupun aku tidak mengetahui namanya dan hanya ia yang mengetahui namaku, aku tidak mau ditegur sapa olehnya dalam keadaan aku yang masih terkejut dengan apa yang kulihat sebelumnya.
“Cress!” panggil Daisy yang sedang berjalan ke arahku dengan membawa dua tas berisi belanjaannya.
“Dai, lo harus tahu gue tadi ketemu siapa,” kataku begitu melihatnya.
“Siapa?”
“Entar gue ceritain. Gue laper, nih. Cari makan, yuk!”
Daisy tidak bertanya lebih lanjut dan mengikutiku mencari restoran karena ia sendiri juga sudah lapar. Kami berdua jika sedang lapar, tidak boleh ada yang mengganggu karena dapat membahayakan orang tersebut akibat cakaran dan semprotan sumpah serapah dari mulut kami, yang tentunya itu sekedar candaan semata.
***
Aku menghempaskan tubuhku di atas tempat tidur. Kedua mataku terpejam sejenak, pikiranku melayang mengingat kembali kejadian yang tak diduga yang terjadi sepanjang hari ini. Mulai dari bertemu seorang laki-laki yang mengetahui namaku, tetapi aku tidak mengetahuinya, saat sedang beristirahat setelah lari dan ternyata ia satu gedung apartemen denganku. Lalu aku juga mengetahui fakta lain, aku yang sadar bahwa aku mempunyai ketertarikan terhadapnya, ternyata ia sudah mempunyai kekasih. Meskipun aku tidak tahu itu benar atau tidak, di mataku terlihat seperti itu.
Daisy pun mengetahui semua tentang hal tersebut. Aku menceritakan semuanya saat makan siang tadi, yang tanpa disengaja aku satu tempat makan dengannya. Aku menyadari bahwa si laki-laki itu juga sedang makan di tempat yang sama, ketika baru menginjakkan kaki ke tempat tersebut. Tadinya aku berniat untuk mencari tempat makan yang lain, tetapi dicegah oleh Daisy dengan alasan ia sangat ingin makan di tempat itu.
Drrt, drrt.
Ponsel yang masih kugenggam bergetar, tanda ada pesan masuk. Aku melihat siapa pengirim pesan tersebut, lalu membukanya.
Daisy : Cress, lo harus tau apa yang gue liat barusan. Gue liat si laki-laki itu masuk ke apartemen sama perempuan yang tadi kita liat juga di mall!
Aku bangun dari posisi tidurku, kaget setelah membaca pesan dari Daisy. Aku membaca berulang kali pesan tersebut, tidak percaya dengan rangkaian huruf-huruf yang tertera pada layar ponselku. Rasa penasaranku makin tinggi. Aku penasaran siapakah sosok perempuan yang bersamanya sepanjang hari ini.
***
Tujuh hari sebelum liburan berakhir dan harus memulai kembali aktivitas perkuliahan, berlalu begitu saja seperti angin panas yang berhembus pada musim kemarau, hanya terasa seperti ada angin yang berhembus, tetapi tidak ada efek yang dirasakan. Itulah yang dirasakan olehku, tidak ada yang istimewa. Aku melewatinya dengan rasa bosan tingkat tinggi.
Meskipun aku harus merapikan apartemenku, mengganti tirai jendela, mengganti sarung tempat tidur beserta teman-temannya, menyuci sepatu, membereskan kamar tidur dari buku-buku yang berserakan di lantai, sampai harus membersihkan isi kulkas, tidak ada hal lain yang membuat liburanku berakhir dengan suatu kenangan yang dapat kuingat selamanya. Kecuali pertemuanku dengan laki-laki yang ternyata tinggal satu lantai dalam gedung apartemen yang sama, yang hingga detik ini namanya belum juga kuketahui. Beberapa kali aku tidak sengaja berpapasan dengannya, tetapi ia tidak pernah sendiri. Ia selalu bersama dengan perempuan yang aku lihat bersamanya di toko buku tempo lalu.
Aku mencabut ponselku dari kabel USB yang tersambung pada adaptor. Sebelum memasukkannya ke dalam tas ransel yang selalu kupakai untuk kuliah, aku memeriksa pemberitahuan yang muncul di layar ponselku, mengetahui tidak ada yang perlu dibalas sekarang juga, aku pun keluar dari apartemen. Sepanjang perjalanan menuju stasiun kereta, aku berdoa agar hari pertama kuliah di semester 7 ini berlangsung dengan lancar.
Di peron tempat biasa aku naik kereta Commuter Line menuju kampusku, sudah banyak penumpang yang berdiri menunggu datangnya kereta. Langit masih terlihat gelap, waktu sendiri masih menunjukkan pukul setengah enam pagi pada jam tanganku. Aku memerhatikan sekelilingku. Terdapat beberapa wajah penumpang yang sudah tidak asing, yang juga biasa menaiki kereta bersamaku menuju tujuannya. Meskipun tidak ada satu orang dari pemilik wajah tersebut yang kukenal, aku merasa aman dan nyaman karena sudah sering bertemu mereka pada jam yang sama sejak hari pertama aku menggunakan transportasi darat ini.
Kedua mataku menangkap gerak-gerik dari seorang laki-laki yang berdiri tak jauh dariku. Kaki kirinya bergoyang pelan seirama dengan apapun itu yang didengarnya dari earphone yang disangkutkannya pada kedua telinganya. Sekilas dari samping wajahnya tidak begitu terlihat karena tertutup kupluk hoodie hitam yang dipakainya. Orang yang baru pertama kali kulihat…, atau bukan…? Aku mengangkat kedua bahuku sambil melanjutkan langkahku ke peron yang sudah banyak penumpang perempuan berdiri mengelompok.
Aku berdiri di belakang mereka sambil mencari-cari celah agar dapat masuk ke dalam kereta dengan cepat. Tas ransel kupindahkan dari punggung ke depan dadaku. Tangan kananku merogoh ke dalam kantong kecil yang ada di dalam tas untuk mengambil ponsel dan earphone, senjata yang selalu menemaniku ketika sedang berpergian yang melindungi telingaku dari omongan-omongan tidak penting yang tidak ingin kudengar. Aku menyangkutkannya di kedua telingaku, lalu menyetel lagu kesukaanku yang membuat pagiku menjadi lebih cerah dan bersemangat.
***
“Gue tunggu di kafe depan, ya!” ucapku sebelum memutus telpon antara aku dan Daisy.
Hari pertama di semester baru ini telah berakhir. Dengan girang aku melangkahkan kedua kakiku menuju kafe yang berada paling depan di komplek fakultasku. Kafe yang selalu ramai dikunjungi oleh mahasiswa fakultasku ketika waktu istirahat. Meskipun ramai, tempatnya yang nyaman, membuat aku tidak enggan untuk selalu menjadikannya tempat menunggu Daisy keluar dari kelasnya.
Aroma kopi, cokelat, dan roti yang menyambutku ketika memasuki kafe ini, selalu membuatku relaks. Seperti biasa, setelah memesan satu gelas iced caramel latte, aku duduk di bangku yang berada di sudut kafe yang menghadap jendela besar kafe ini. Aku menyalakan layar ponselku dan mulai terjun ke dalam Instagram, melihat foto-foto yang baru diunggah oleh teman-temanku. Sesekali aku tertawa kecil ketika melihat foto yang memperlihatkan tingkah konyol mereka.
Tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahuku pelan. Aku menoleh dan mendapatkan laki-laki yang belum kuketahui namanya duduk di kursi tepat di sampingku. Ia meletakkan gelas minumannya yang berisi iced americano—tertulis di gelasnya dan aku sempat melihatnya sekilas—di samping gelasku. Bibirnya tersenyum manis membuatku ingin meleleh di tempat.
“Hai!” sapanya.
“Oh…, hai!”
“Udah lama di sini?”
“Ehm…, lima belas menit? Kayaknya sekitar itu, hehe.”
“Oh, gitu…. Gue gak ganggu, lo, kan, ya? Lagi nunggu orang?”
Waktu itu memakai ‘aku’ dan ‘kamu’, sekarang dia menggunakan ‘gue’ dan ‘lo’ saat bicara, aneh. Aku menggelengkan kepala kemudian mengangguk.
Tidak tahu apa yang harus dibicarakan lagi, suasana di antara kami pun hening seketika. Ia sendiri membuka buku catatan yang dibawanya dan sibuk membacanya. Aku mencuri pandang melihat penampilannya.
Tunggu! Hoodie? Lebih tepatnya hoodie hitam dengan celana denim. Tas ranselnya berwarna abu-abu polos, persis dengan apa yang kulihat tadi pagi di stasiun. Oh, my God…, dia kuliah di sini juga??
Kedua ibu jariku sibuk mengetik pesan yang langsung kukirim kepada Daisy, memberitahukannya bahwa aku bertemu kembali dengan laki-laki yang belum kuketahui namanya ini.
Ah, benar! Nama! Apa aku tanya aja, ya…? Dia tahu namaku, masa aku tidak tahu. Baiklah, mari kumpulkan keberanian….
Namun, belum saja aku melontarkan pertanyaan, ia sudah bertanya kepadaku, “Ngomong-ngomong, lo semester berapa?”
Aku mengerjapkan kedua mataku, “Masuk tujuh. Lo sendiri?”
“Sama, kok, tapi gue seharusnya udah lulus semester lalu.”
Aku menatapnya bingung.
Ia tertawa kecil melihat ekspresiku,”Gue sempat studi di luar dulu setahun, baru pulang akhir tahun lalu, jadinya gini, deh.”
“Jadi, lo senior gue, dong?”
Ia mengangguk, lalu meneguk kopinya.
Aku menggaruk bagian belakang kepalaku yang tidak gatal, bingung kapan waktu yang tepat untuk menanyakan namanya.
“Ah, iya. Gue belom ngenalin diri gue ke lo, ya?”
Aku pun mengangguk senang. Akhirnya, tanpa gue yang bertanya, dia sendiri yang memberitahukannya.
“Kalo gitu, ayo, ulang dari awal perkenalan kita.”
Ia menjulurkan tangan kanannya mengajak aku untuk menjabat tangannya dan berkenalan secara resmi, “Kenalin, nama gue Brian Nasution, angkatan 2013, jurusan Sastra Jerman.”
Wow, lengkap!
“Kenalin, nama gue Cress Iskandar, angka….”
“Gak usah dikasih tau, gapapa, gue udah tau, kok.”
Aku kembali menatapnya bingung yang kali ini dibalasnya dengan suara tawa yang terdengar sangat renyah di telingaku.
“Gak usah kaget gitu. Gue dari semester lalu udah liat lo, dari apartemen sampe kampus.”
Pipiku bersemu merah mendengarnya. Dalam hati aku bertanya-tanya, mengapa aku baru melihatnya ketika liburan kemarin?
Aku melihatnya sedang melirik ke arah jam tangannya, “Ah! Udah jam dua, gue harus ke kelas. Lo sendirian gapapa, kan? Atau lo juga ada kelas?”
Pipiku kembali merona dan aku hanya bisa memberikan jawaban dengan anggukan serta gelengan kepala.
“Oke, deh, kalo gitu. Gue duluan, ya. Hati-hati di jalan!”
Kedua mataku memandangnya yang beranjak dari duduknya dan dengan buru-buru ia merapikan buku catatannya kemudian berjalan keluar kafe. Bersamaan dengan keluarnya Brian, masuklah sosok yang kutunggu-tunggu, Daisy. Raut wajahnya terlihat kaget begitu berpapasan dengannya di depan pintu. Ia langsung menghampiriku dengan tatapan bertanya-tanya.
“Kan, gue nge-chat lo tadi. Pasti belom diliat, deh.”
Tangannya langsung mengeluarkan ponselnya yang berada di dalam saku celana panjangnya.
“Oh, my…. Wow! Terus, lo daritadi sama dia, dong?”
“Ya, begitulah.”
“Oke, lo harus cerita semuanya sama gue, tapi nanti sambil jalan ke stasiun. Gue mau beli minum dulu bentar, abis itu baru lo ceritain.”
***
Comments
Post a Comment