Intentional Accident (Part 3)

Mukaku masih terasa panas dan aku pun yakin pipiku juga masih merona merah, meskipun aku telah menceritakan semuanya kepada Daisy. Sepanjang jalan ia mendengarkan ceritaku sambil sesekali mengekspresikan rasa kagetnya, terutama begitu mengetahui status Brian yang merupakan senior kami berdua. Sama sepertiku, sampai detik ini aku sendiri juga tidak percaya ketika ia memberitahukan bahwa ia telah melihatku sejak semester 6 lalu.

“Gue hanya bisa berkata, wow…, wow! Cress, wow!”

Aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya hingga perutku sakit dibuatnya. Ah, rasanya ingin guling-guling supaya lebih bebas ketawa.

I’m serious, Cress! Dia…, wow….”

Aku kembali tertawa dan kali ini sambil memukul lengannya.

“Oke, oke, berhenti mukul gue. Hmm…, tapi setelah dipikir-pikir, dia agak creepy juga, ya?”

“Maksudnya?”

“Iya, kan, katanya dia udah liat lo dari semester lalu, berarti dia pasti tahu gue juga, dia tau tempat tinggal lo, dan kemungkinan besar dia tahu gerak-gerik lo juga selama di kampus.”

“Intinya?”

“Dia kayak stalker, Cress. Tapi, tapi, gue berkata seperti ini bukan berarti dia bener-bener stalker, loh.”

“Hahaha, iya, gue ngerti apa yang lo maksud, Dai. Ya, kita lihat aja ke depannya nanti dia bakal kayak gimana ke gue.”

“Hati-hati suka sama dia.”

Aku tersedak mendengarnya.

“Jangan bilang lo udah suka sama dia, Cress?”

Dengan cepat aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Ia pun terdiam. Kami pun menunggu kereta yang tak lama lagi akan datang dengan diam.

Sebenarnya aku tidak tahu apakah aku suka dengannya atau tidak, tetapi aku suka ketika ia menghampiriku dan menemaniku saat aku sedang sendiri. Aku suka ditemani oleh aroma kayu manis dan mint yang berasal darinya saat ia duduk di sampingku. Aku suka dengan suara beratnya saat berbicara. Aku suka dengan tawanya yang menggelitiki telingaku. Semua itu memenuhi otakku dan membuat perutku dipenuhi oleh kupu-kupu setiap aku mengingatnya.

“Dai…, kalo gue beneran suka sama dia gimana?”

Kali ini ia yang kaget, ”Seriusan??”

Aku mengangguk malu-malu, ”Tapi belom tahu juga, sih. Cuma nanya aja.”

“Ya…, gapapa, sih, tapi karena gue belom tahu dia orangnya kayak gimana, bikin gue khawatir. Yang penting, lo harus hati-hati, Cress. Dan kalo ada apa-apa, jangan ragu buat cerita sama gue.”

“Hmm…, baiklah.”
***

Hari ini tepat sudah seminggu aku selalu bertemu dengan Brian, atau yang sekarang kupanggil Ian—ia sendiri yang meminta untuk dipanggil seperti itu pada hari Sabtu lalu,  saat bertemu di tempat kami pertama kali bertemu—tetapi ada yang berbeda dengan hari ini, dari pagi sampai kelasku selesai, aku belum melihat batang hidungnya sama sekali.

Aku sendiri sedang tidak punya semangat untuk duduk lama-lama di kafe seperti biasanya karena hari ini orang yang selalu pulang bersamaku tiba-tiba meminta maaf tidak bisa pulang bareng. Ketika kutanya mengapa, ia hanya menjawab dengan singkat, menggunakan nama pacarnya, Theo.

Dengan malas aku pun berjalan ke stasiun, berharap dapat melihat wajah Brian meskipun hanya sekilas.

“Cress!” panggil seseorang dari belakang.

“Cress, tunggu!”

Aku tersenyum mendengar suara yang sudah kukenali di telingaku. Aku pun berhenti dan menoleh ke belakang, melihat Brian yang sedang berlari ke arahku. Hari ini ia memakai kemeja flanel motif kotak-kotak berwarna kuning dan cokelat serta celana denim seperti biasanya. Sederhana memang, tetapi selalu berhasil membuatku terpesona, apalagi ketika aku mendapati ia berlari dengan salah satu dari tali sepatunya yang tidak terikat dengan benar dan hal itu terlihat di kedua mataku sekarang.

“Wah, capek juga ngejar lo dari kafe.”

Aku terkejut. Jadi, dia nungguin gue di kafe? Aku tambah terkejut ketika menyadari  kedua tangannya memegang erat gelas berisi minuman yang dibelinya di kafe.

“Lho, lo gak kelas? Ini, kan, masih jam dua lewat sepuluh menit, Ian.”

“Dosennya gak masuk hari ini, jadinya gue hanya sampai jam sepuluh.”

Aku ber-oh panjang. Kami pun melanjutkan perjalanan kembali menuju stasiun.

“Ah, iya, nih,” ucapnya sambil menyodorkan segelas plastik berisi iced caramel latte kesukaanku.

Aku menerimanya sambil tersenyum, “Makasih. Kirain gue, lo gak masuk hari ini.”

“Haha, tadi abis kelas gue langsung ke kafe sama temen, sekalian ngomongin tugas kelompok.”

“Baru minggu kedua udah ada tugas kelompok?”

“Dikumpulinnya masih lama, sih, sebelum ujian tengah semester nanti, tapi lebih baik diomongin dari sekarang biar gak keteteran nantinya.”

Wah, beda sekali sama aku. Aku boro-boro bakal membahas pekerjaan kelompok yang masa penyerahannya masih lama, kecuali kalau itu sudah mendekati waktunya.

“Hmm…, lo ambis juga, ya, ternyata.”

“Enggak juga, yang ngusulin buat ngomongin dari sekarang itu temen gue yang lain. Kalo gue mah, selama ada grup di Line, gak masalah karena bisa ngomongin di situ. Tapi katanya dia maunya sekarang aja, mumpung kelas siangnya dibatalin.”

Aku manggut-manggut lalu tertawa kecil, ternyata tidak beda jauh dia, walaupun kelihatannya dia lebih rajin daripada aku.

“Oh, iya, lo tumben pulang sendirian. Si Daisy ke mana?”

Ya, dia akhirnya, tepatnya minggu lalu, secara resmi berkenalan dengan Daisy ketika bertemu di kantin pada jam makan siang. Sejak itu, tak jarang ia duduk berdua dengan kami ketika bertemu di kantin atau kafe ataupun taman di depan salah satu gedung yang ada di komplek fakultas.

Aku mendengus, “Lagi jalan ama pacarnya.”

“Hahaha, sedih amat ditinggalin.”

“Tau, tuh. Awas aja, lain kali gue yang bakal ninggalin dia.”

Suara tawanya kembali memenuhi pendengaranku. Tolong, ini tempat umum, jangan buat aku lemas hanya dengan suara tawamu.

“Emangnya lo punya pacar?”

Aku menunduk dan menggelengkan kepalaku, “Enggak…. Menyedihkan, ya?”

Terasa tangannya mengacak-ngacak rambutku gemas. Oh, Tuhan! Aku yakin seratus persen wajahku sangat merah sekarang. Aku tidak berani mengangkat wajahku dan menatapnya. Rasanya aku ingin berteriak dan lompat saking senangnya.

“Hahahaha. Sama gue aja, mau?”

“Eh…?”

Ia kembali tertawa, kali ini terbahak-bahak.

“Bercanda, kok. Gak usah sekaget itu, dong. Ayo, siap-siap, keretanya udah mau dateng.”

Aku mengatupkan bibirku. Otakku masih memproses maksud dari perkataannya barusan. Aku pun berjalan ke arah kereta yang masih melaju dengan lambat memasuki stasiun.

Ketika pintu kereta terbuka, Brian menyuruhku untuk masuk duluan, lalu ia masuk setelahku. Meskipun belum jam pulang kerja, bangku di dalam kereta terisi penuh oleh penumpang. Aku pun berdiri sambil bersender pada pintu yang tidak akan terbuka saat kereta berhenti di stasiun berikutnya.

Aku menatap sosok Brian yang berdiri menghadapku dengan matanya yang terfokus membaca apapun itu yang terdapat di layar ponselnya. Sudah berapa kali aku menatapnya dengan diam dalam jarak yang begitu dekat. Aku sendiri tidak peduli ia menyadarinya atau tidak, aku hanya berharap agar ia tidak terganggu dengan tingkahku ini.

“Besok ada waktu?” tanyanya tiba-tiba membuatku tersentak dan kaget merasa ia menyadari tingkahku.

“Besok…?”

“Iya, pas lo udah pulang.”

“Ehm…, besok gue udah ada janji, maaf….”

“Haha, gak usah minta maaf, Cress. Karena gue hari Rabu sampe sore di kampus, kalo Kamis?”

“Kamis kayaknya bisa. Emangnya kenapa?”

“Gapapa, nanti gue kabarin lagi, ya.”

Aku mengangguk lalu menatap jendela yang memperlihatkan motor dan mobil yang melaju dengan kencang bersamaan dengan kereta ini melaju.

“Ah, iya, gue baru inget kalo gue belom punya kontak lo. Gimana mau ngabarin kalo gue gak punya? Gue minta nomor telpon sama ID Line lo, boleh?”

Aku tertawa kecil lalu menyebutkan nomor telpon dan juga ID Line yang dimintanya.

“Oke, gue telpon, ya, nanti simpen nomor gue.”

“Siap!”
***

Aku bergegas mengambil ponselku yang berdering tanda ada panggilan masuk. Kulihat yang nama dari orang yang meneleponku, senyum mengembang di sudut bibirku. Aku pun menerimanya.

“Halo?”

“Halo, Cress?” jawabnya.

“Gue baru sampe apartemen, nih. Nanti kalo udah jam tujuh, ke sini aja, ada adek gue yang bakal bukain pintunya.”

“Oke, Ian.”

“Oke, deh, sampai jumpa di jam tujuh, ya.”

Meskipun aku tahu ia tidak melihatku, aku tetap mengangguk sambil tersenyum sebelum mengakhiri pembicaraan singkat ini.

Senyum tetap menempel di bibirku walaupun percakapan kami telah selesai. Suasana hatiku hari ini sedang cerah seperti cerahnya matahari yang menyinari sepanjang hari ini. Meskipun panas, tetapi aku bahagia menjalani hariku sampai membuat Daisy curiga kalau aku sudah gila karena sepanjang hari aku sering tersenyum.

Daisy mengetahui semua rencanaku malam ini dengan Brian. Bahkan ia sangat heboh ketika aku memberitahunya tadi pagi. Menurutnya, ini awal yang bagus untuk memulai hubungan asmara antara aku dengannya. Ia bahkan berkata, bahwa ia akan mendukungku apapun yang terjadi setelah malam ini berlalu.

Sambil bersiul pelan aku memakai baju yang biasa aku pakai kalau aku akan berpergian. Ya, untuk kali ini aku memerhatikan penampilanku dan sibuk memilih pakaian yang tepat sejak menginjakkan kaki di kamar sore tadi. Aku memakai blus biru tua bermotif bunga-bunga berwarna putih yang kupadukan dengan celana denim yang kupakai tadi ke kampus.

Aku melihat jam dinding yang tergantung di dinding kamarku, jarum jamnya menunjukkan sudah pukul tujuh. Aku pun mengambil ponsel dan juga dompetku untuk berjaga-jaga, lalu keluar dari apartemenku menuju apartemen Brian yang juga satu lantai denganku.

Dengan gugup aku menekan bel yang baru sekali kutekan langsung terbuka dan tampaklah seorang perempuan cantik yang tidak asing di kedua mataku. Ia tersenyum dan mempersilahkanku untuk masuk.

“Hai! Kamu Cress, kan?” tanyanya dengan senyum yang membuat lesung di pipinya terbentuk dan semakin membuatnya terlihat cantik.

“Ah, iya. Hai, perkenalkan, namaku Cress,” balasku sambil mengulurkan tangan kananku yang langsung disambut olehnya.

“Wah…, ternyata benar dugaanku.”

Aku menatapnya bertanya-tanya.

Ia tertawa kecil, “Maksudku, kamu sangat cantik, Cress, tepat seperti dugaanku.”

Aku tersipu malu mendengarnya, “Ah, tidak, kok, lebih cantik kamu.”

Ia kembali tertawa, “Hahahaha, terima kasih. Oh, iya, kenalin, namaku Keyla, adik dari pemilik apartemen ini. Ayo, masuk.”

Aku baru menyadari kalau ternyata kami masih berdiri di depan pintu. Aku berjalan mengikutinya dari belakang sambil melihat-lihat unit apartemen yang luasnya setengah lebih kecil dari unit apartemenku. Terdapat beberapa bingkai foto yang terpajang di atas lemari buku di dekat meja televisi. Di antara foto-foto tersebut, aku menangkap foto yang memperlihatkan keakraban antara Brian, Keyla, dan seorang laki-laki yang juga mirip dengan mereka. Aku memandanginya lekat-lekat, wajah laki-laki tersebut tidak asing di mataku.

“Hai, Cress!”

Sebuah sapaan yang membuatku kaget dan sadar, bahwa aku sekarang tengah berdiri di unit apartemennya. Aku melihatnya berjalan ke arahku sambil tersenyum. Beberapa helai rambutnya terlihat masih basah, memperlihatkan dirinya yang baru selesai mandi.

Deg, deg.

“Ah, hai!”

“Jangan terlihat awkward gitu, dong! Anggap saja rumah sendiri. Oh, iya, udah kenalan sama Keyla?”

Aku tersenyum kikuk, lalu mengangguk.

“Abang, makanannya udah siap, nih!” teriak Keyla dari dapur.

“Yuk, kita makan dulu,” ajak Brian sambil menuntunku ke ruang makan yang terhubung dengan dapur.

Aku duduk di kursi yang menghadap langsung dengan Brian, sedangkan Keyla duduk di sampingnya. Perasaan gugup kembali menyelemutiku. Walaupun aku sudah beberapa kali satu meja dengannya saat makan, kali ini sangatlah berbeda. Kami satu meja makan di apartemennya dan terdapat adiknya yang mungkin diam-diam akan memerhatikan gerak-gerikku. 

Ah, jangan berpikir terlalu jauh, Cress! Ini bukan seperti acara perkenalan kamu dengan keluarganya, jadi jangan gugup! Atur nafas dan bersikaplah seperti biasa.

Sorry, ya, gara-gara gue pulangnya agak sore, gak sempet masak. Jadinya Keyla, deh yang masak. Padahal kemarin gue udah janji masakin lo,” ucap Brian.

“Gapapa, kok, masih ada lain waktu, hehehe,” balasku.

“Tenang aja, Cress. Akan aku buat dia nepatin janjinya nanti,” kata Keyla.

Aku hanya mengangguk dan melanjutkan makanku dengan diam.

“Oh, iya, Cress, lo masih inget kita pernah ketemu di toko buku beberapa minggu yang lalu?”

Aku mengerjapkan mataku berusaha mengingat kejadian tersebut, lalu mengangguk, “Kenapa emangnya?”

“Perempuan yang lo liat di samping gue waktu itu, perempuan yang sama dengan yang lagi makan dengan rakusnya di samping gue.”

“Apa lo bilang? Rakus? Gue rakus? Harusnya lo bersyukur punya adek kayak gue yang banyak makan.”

Aku tertawa melihat tingkah laku mereka, mengingatkanku terhadap Bang Niel yang juga sering berbuat hal seperti itu kepadaku.

Setelah menyelesaikan makan malam dengan damai dan ditemani beberapa pertanyaan yang dilontarkan oleh Keyla kepadaku, aku akhirnya terbebas dari meja makan. Namun malam ini belum berakhir sampai di sini, kami memutuskan untuk menonton satu film saja—keputusan yang akhirnya disetujui oleh Keyla yang bersikeras untuk menonton dua film karena ia sangat senang dengan kehadiranku—sebelum aku pulang.

“Akhirnya, aku berhasil mengetahui seperti apa sosok perempuan yang berhasil memenuhi pikiran dan membuka hati abangku,” ucap Keyla pelan setelah film yang kami tonton selesai.

“Eh? Maksudnya?” tanyaku bingung.

“Aku tahu kalau abangku menyimpan perasaan sama kamu sejak kita gak sengaja ketemu di toko buku, Cress. Jarang aku memergokinya sedang memerhatikan seorang perempuan yang ternyata itu kamu. Sejak itu pula aku menggodanya, tapi ia selalu saja menepisnya. Ah, iya, sebenarnya makan malam hari ini juga karena aku memintanya untuk memperkenalkan kamu ke aku karena rasa penasaranku.”

“Ah…, hahaha.”

“Maaf, ya…, tapi tenang saja, lain kali pasti undangan ini akan datang lagi langsung dari mulutnya tanpa pintaku.”

Aku hanya menyengir. Kedua mataku melihat bingkai foto yang membuatku langsung terpaku ketika menginjakkan kaki ke dalam apartemen ini.

But, I wanna say thank you so much for having fun with me today. Aku senang karena akhirnya aku akan punya kakak perempuan.”

Lagi, aku menatapnya bingung.

“Umurku di bawah kamu setahun, Cress. Dan jangan menepisnya! Aku tahu kalau kamu juga menyimpan perasaan terhadap abangku.”

Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal, “Hehehe.”

Mataku kembali menangkap bingkai foto yang berada di atas lemari buku tersebut. Aku penasaran dengan sosok laki-laki yang berada di samping kiri Keyla.

“Ehm..., kalo boleh tahu, dia siapa, ya, Key?” tanyaku sambil menunjuk ke arah sosok laki-laki dalam foto.

“Ah, iya! Aku lupa ngenalin kamu. Ini kembaran Bang Brian, Bang Ryan. Mereka kembar, tapi karena mereka kembar identik, jadinya banyak yang mengira dia abangnya Ryan, walaupun itu benar, sih,” jawabnya sambil memandang foto tersebut dengan sedih.

Aku mengangguk. Otakku sedang bekerja mencari seseorang yang bernama Ryan Nasution, yang membuatku merasa ada yang janggal setelah mendengar namanya. Aku merasa pernah bertemu dengannya, wajahnya tidak asing, begitu pula namanya. Ah! Aku ingat!

“Dia, Ryan, dulu sekolah di SMA Harapan bukan?”

“Yap. Dia ama Bang Brian sejak SMP gak pernah satu sekolah.”

Ya, Tuhan. Mengapa aku bisa-bisanya memiliki perasaan terhadap Brian setelah berhasil melupakan Ryan, yang ternyata saudara kembarnya.

“Key, udah selesai ngobrolnya? Udah jam segini, nih, kasian Cress besok harus bangun pagi-pagi,” ujar Brian yang baru saja selesai menyuci piring bekas makan malam kami.

“Iya, udah, kok.”

“Oke, gue nganterin Cress dulu, ya, kalo gitu. Ayo, Cress!”

Aku beranjak dari dudukku. Tiba-tiba aku merasakan tubuhku dipeluk erat oleh Keyla.

“Aku akan mendukung hubungan kalian. Dan sekali lagi, terima kasih udah dateng ke sini. Jangan kapok buat ketemu aku lagi, ya. Jadi atau enggaknya kamu ama abangku, kita tetap bisa bertemu, kan?”

Aku tertawa kecil, lalu mengangguk dan membalas pelukannya, “Tentu saja. Aku juga senang bisa kenal kamu. Lain kali kita ketemu lagi, ya!”

“Baiklah, sampai jumpa di lain waktu, Cress!”

Aku melambaikan tangan sambil berjalan keluar apartemen.

“Akhirnya, keluar juga lo. Gue kira lo ditahan sama dia,” kata Brian.

“Enggak, kok.”

“Oh, iya, makasih, ya, udah dateng. Mungkin tadi udah dikasih tahu sama Keyla alasan gue tiba-tiba ngundang lo dan gue sangat berterima kasih lo bisa dateng.”

Aku mengangguk pelan. Tunggu! Aku berusaha mencerna ulang perkataannya. Ya, Tuhan! Tidak mungkin ia mendengar semua pembicaraanku dengan Keyla. Ada bagian yang seharusnya tidak boleh ia dengar. Tolong bilang dia tidak mendengarnya, tolong….

“Sampai, deh!”

Aku tersentak dari lamunanku dan melihat bahwa kami telah berdiri di depan pintu unit apartemenku.

“Ah…, cepat juga, ya…,” ucapku pelan.

“Apa?”

“Ah, bukan apa-apa, kok. Kalo gitu aku masuk, ya. Makasih banyak hari ini.”

Dengan cepat aku menekan tombol kunci pintu apartemenku dan membukanya.

“Cress,” panggilnya.

Aku menoleh dan merasakan kehangatan tubuh Brian yang tiba-tiba memelukku. Aku yang masih terkejut, tidak tahu harus berbuat apa.

“Makasih banyak buat hari ini. Sungguh, gue gak bohong, gue bahagia dengan kehadiran lo, Cress,” bisiknya.

Aku hanya bisa menganggukkan kepalaku, tidak tahu harus berbuat apa. Di kepalaku sedang bercampur aduk pertanyaan-pertanyaan yang ingin kulontarkan padanya, tetapi aku hanya bisa bungkam.
***

Comments

Popular posts from this blog

#9:40 p.m.

#10:04 p.m.

#06:16 a.m.